Home » » Belajar dari Hamka

Belajar dari Hamka

Written By Unknown on Rabu, 26 Maret 2014 | 10.25




Oleh: Mesa Muslih

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka tak hanya diakui di Indonesia, namanya juga dikenal di berbagai negara. Bahkan, ulama yang mempunyai nama lengkap Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah ini berhasil menyandang gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Di kalangan Muhammadiyah, Hamka merupakan salah satu tokoh utama. Beliau ikut mendirikan Muhammadiyah di Padang Panjang tahun 1925. Tahun 1946, Hamka menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Tahun 1953, Hamka terpilih menjadi penasehat PP Muhammadiyah.
Hamka merupakan sosok ulama yang bersahaja dan sederhana. Beliau lebih suka menyebut dirinya dengan nama Hamka, tanpa perlu tambahan Kyai, Buya, Ustadz, Profesor dan embel-embel lain di depan namanya.
Beliau mungkin saja menganggap, sapaan dengan nama tanpa embel-embel apapun, sebagai bentuk penyerataan diri dengan lawan bicara. Dengan kesetaraan ini, tidak ada pihak yang menggurui orang lain secara langsung. Penyebutan nama Hamka, seolah menunjukkan beliau bisa bersahabat dengan siapapun, hatta itu orang biasa.
Penampilan Hamka juga jauh dari kesan mewah, bahkan cendrung sangat sederhana. Sehari-hari beliau biasa mengenakan peci hitam, meski kebanyakan haji dan ulama saat itu lebih memilih mengenakan sorban atau setidaknya peci putih di atas kepalanya.
 Di Masjid Al Azhar, setiap harinya Hamka menerima kunjungan dari orang-orang yang datang berkonsultasi atau bahkan curhat. Siapapun yang datang kepadanya, bakal diterima dengan tangan terbuka. Tak heran, dalam sehari puluhan orang bisa datang menemuinya, sekedar ingin mendengar nasehat-nasehat ulama besar itu.
Ayah saya, Syuaib, sangat beruntung bisa bertemu langsung dengan Hamka. Dia mengaku, hanya ingin melihat Hamka. Maka, datanglah beliau berkunjung ke Masjid Al Azhar. Di sebuah ruangan yang biasa menjadi tempat bertemunya Hamka dengan masyarakat yang datang berkunjung, hanya ada beberapa kursi dan sebuah meja kayu. Setelah beberapa saat menunggu, Hamka keluar menemui ayah saya di ruangan tersebut. Setelah mengucap salam, Hamka meminta maaf karena baru menerima tamu. Tentu saja, kata maaf ini akan selalu terucap dari bibir Hamka, karena beliau akan selalu menerima tamu.
‘’Beliau tidak mau disebut kyai, bahkan sekedar sebutan bapak, saya diminta sebut langsung namanya, Hamka,’’ tutur ayah saya.
Itulah kesan pertamanya saat bertatap muka langsung dengan Hamka. Selanjutnya Hamka dengan penuh persahabatan mengobrol akrab dengan ayah saya yang baru dikenalnya. Ayah saya bukan siapa-sia, hanya seorang guru SD biasa.
Tentu saja pertemuan itu tidak bisa lama, karena masih banyak tamu Hamka yang masih mengantri menunggu giliran. Hamka tidak pernah mengusir tamunya, namun sang tamu, seperti Ayah saya, yang tahu diri dengan kesibukan beliau.
Saat akan pamit pulang, ayah saya sempat ditahan Hamka. Ternyata beliau menawarkan sedikit uang untuk ongkos pulang. Ayah saya tahu, Hamka mendapatkan uang itu dari kegiatannya mengurus yayasan pendidikan Al Azhar. Tentu gajinya sangat sedikit, yang hanya cukup untuk makan Hamka dan keluarganya. Dengan ikhlas, ayah saya menolaknya.
Hamka memang tidak pernah mau menerima uang dari orang yang berkonsultasi dengannya atau uang dari kegiatan dakwahnya. Bahkan kerap kali, Hamka justru memberikan uang sekedar ongkos, untuk orang yang datang menemuinya.
Saat itu, Hamka merupakan penceramah rutin di TVRI maupun RRI. Yang tentu saja, publikasi ini membuat Hamka menjadi sangat tenar di masyarakat. Tapi menjadi ulama kondang, tidak membuat beliau tergiur menetapkan tarif ceramah.
Selama hidupnya, Hamka dikenal sebagai sosok yang konsisten dengan pendiriannya. Di masa pendudukan Jepang, ada tradisi membungkukkan badan ke arah negara Jepang, atau di hadapan bendera Jepang. Hamka, saat itu menolak membungkuk, karena dia hanya mau tunduk di hadapan Allah SWT. Ancaman penjara, atau bahkan nyawa, tidak menyurutkan Hamka untuk memegang teguh prinsipnya.
Konsistensinya memegang prinsip bukan tanpa resiko. Demi menjaga prinsipnya beliau pernah dipenjara di era Orde Lama pada tahun 1964-1966 dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Hamka dipenjara, karena berbeda pendapat dengan Sukarno terkait penetapan Pancasila sebagai dasar negara.
Di era Orde Baru, Hamka juga kerap berselisih paham dengan penguasa. Dia pernah menolak berkampanye untuk Golkar, padahal saat itu penguasa sangat getol menjaring para tokoh untuk mendukung Golkar. Namun Hamka tetap pada prinsipnya. ‘’Dengan loyalitas terhadap negara ini bukan berarti bahwa saya mesti masuk salah satu partai politik. Bukanlah berarti saya mesti membantu kampanye Golkar!...Saya akan tusuk 3 Juli nanti tanda gambar yang tetap rahasia dalam hati saya." tulis Hamka.
Namun perbedaan prinsip ini, tidak membuat Hamka dendam. Saat Sukarno meninggal dunia, Hamka menjadi imam sholat jenazah Sukarno. Sukarno-pun, tidak menjadikan perbedaan pendapatnya dengan Hamka sebagai jurang pemisah persahabatan mereka berdua. Sebelum wafat, Sukarno meminta agar Hamka yang mengimami sholat jenazahnya, yang akhirnya dipenuhi Hamka.
Senantiasa menjaga persahabatan merupakan salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh Hamka. Banyak kisah-kisah yang membuktikan hal itu. Misalnya saja kisah persahabatannya dengan KH Abdullah Syafi’ie ulama kharismatik Betawi yang juga tokoh NU.
Sebagai tokoh Muhammadiyah, Hamka tidak mempraktekan doa qunut pada sholat subuh, dan masalah khilafiyah lainnya seperti perbedaan bilangan sholat tarawih atau jumlah azan pada solat jumat.
Sebagaimana diceritakan Rusydi Hamka dalam bukunya, Hamka pernah suatu hari dijadwalkan menjadi khatib jumat di Masjid Al Azhar Kebayoran. Saat itu kebetulan ada KH Abdullah Syafi’ie. Hamka kemudian meminta sahabatnya untuk menjadi khatib. Tidak itu saja, di masjid tersebut, tiba-tiba berkumandang azan dua kali, padahal selama ini setiap jelang sholat Jumat, Masjid Al Azhar hanya mengumandangkan azan satu kali.
Sikap toleransi Hamka tidak kali itu saja ditunjukkan. Ketika mengimami sholat subuh, Hamka kerap meminta persetujuan jamaah, apakah nanti memakai doa qunut atau tidak. Beberapa kali Hamka mengimami sholat subuh dengan membaca doa qunut. Demikian halnya ketika sholat tarawih, Hamka juga meminta persetujuan jamaah, apakah dengan 11 atau 23 rakaat dengan witir.
Prinsip Hamka dalam menjaga persahabatan dan persaudaraan juga ditunjukkan ketika terjadi perbedaan pendapat antara dirinya dengan tokoh Muhammadiyah lainnya KH Farid Ma’ruf terkait pengangkatan Moelyadi Djoyomartono sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Sukarno waktu itu. Pengangkatan tokoh Muhammadiyah ini menjadi kontroversi, karena saat itu tengah terjadi konflik antara Sukarno dan Muhammadiyah.
Hamka saat itu menilai KH Farid Ma’ruf sebagai tokoh Muhammadiyah yang pro istana dan ingin membawa Muhammadiyah mendekat ke istana. Sedangkan KH Farid Ma’ruf berpendapat, sikap Moelyadi menerima posisi Menteri Sosial, adalah untuk kepentingan Muhammadiyah. Konflik iniun sampai melibatkan media massa.
Hingga dalam sidang tanwir Muhammadiyah, kedua tokoh ini akhirnya dipertemukan dalam satu mimbar. Hamka didaulat terlebih dahulu naik ke atas mimbar untuk menjelaskan tuduhannya selama ini. Saat Hamka melangkah ke atas mimbar, semua mata peserta tanwir tertuju padanya, menunggu saat-saat menegangkan, debat terbuka yang bakal sangat seru.
Namun apa yang terjadi. Saat berada di atas mimbar, Hamka justru menangis. Dengan suara terbata-bata, Hamka meminta maaf kepada KH Farid Ma’ruf. Dia mengatakan, pendapatnya di media massa sebagai bentuk cintanya pada Muhammadiyah, demikian halnya dengan KH Farid Ma’ruf, pendapat itu juga dilandasi kecintaan yang besar terhadap Muhammadiyah.
KH Farid Ma’ruf yang saat itu membawa setumpuk map, sebagai persiapan menghadapi ‘’serangan’’ Hamka, tidak jadi membuka mapnya. Dia menghampiri Hamka, dan memeluknya sembari menangis. Keduanya memang tetap pada pendapatnya masing-masing, tapi tetap saja tidak melunturkan persaudaraan diantara tokoh ini.
Hamka juga seorang ulama yang ikhlas. Ketika banyak orang menilai kerja dan jabatannya dengan sekepal rupiah, Hamka bekerja dalam dakwah dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan.
Ketika menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia selama dua periode, 1975-1980 dan periode 1980-1985, Hamka menolak untuk digaji. "Kalau saya diminta menjadi anggota Majelis Ulama saya terima, akan tetapi ketahuilah saya sebagai Ulama tidak dapat dibeli," tegas Hamka sebagaimana dikutip M Roem dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah.
Hamka memang sudah lama meninggal dunia. Tapi banyak pelajaran yang bisa diambil dari kehidupan tokoh tersebut. Dan tentu saja lebih banyak pelajaran berharga dari pesan-pesan yang termuat dalam rekaman ceramah dan buku-bukunya. Satu kutipan pesan Hamka dalam bukunya ‘’Dari Hati ke Hati’’:
“Menurut keyakinan kita, suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam, tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasar kepada akidah dan akhlak Islam! Orang Barat bisa saja berjuang mempertahankan tanah airnya, tampil ke medan perang, bertempur melawan musuh sambil minum vodka dan whisky, sambil menyanyi, dan berdansa dan sambil istirahat pergi ke tempat perempuan lacur yang sudah disediakan untuk pelepaskan dahaga mereka.” (*)


0 komentar:

Posting Komentar

Template Information