Oleh: Mesa Muslih
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan julukan Hamka tak hanya diakui di Indonesia, namanya juga
dikenal di berbagai negara. Bahkan, ulama yang mempunyai nama lengkap Abdul
Malik bin Abdul Karim Amrullah ini berhasil menyandang gelar doktor honoris
causa dari Universitas Al Azhar, Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Di kalangan Muhammadiyah, Hamka merupakan salah satu
tokoh utama. Beliau ikut mendirikan Muhammadiyah di Padang Panjang tahun 1925.
Tahun 1946, Hamka menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera
Barat. Tahun 1953, Hamka terpilih menjadi penasehat PP Muhammadiyah.
Hamka merupakan sosok ulama yang bersahaja dan sederhana.
Beliau lebih suka menyebut dirinya dengan nama Hamka, tanpa perlu tambahan
Kyai, Buya, Ustadz, Profesor dan embel-embel lain di depan namanya.
Beliau mungkin saja menganggap, sapaan dengan nama tanpa
embel-embel apapun, sebagai bentuk penyerataan diri dengan lawan bicara. Dengan
kesetaraan ini, tidak ada pihak yang menggurui orang lain secara langsung.
Penyebutan nama Hamka, seolah menunjukkan beliau bisa bersahabat dengan
siapapun, hatta itu orang biasa.
Penampilan Hamka juga jauh dari kesan mewah, bahkan
cendrung sangat sederhana. Sehari-hari beliau biasa mengenakan peci hitam,
meski kebanyakan haji dan ulama saat itu lebih memilih mengenakan sorban atau
setidaknya peci putih di atas kepalanya.
Di Masjid Al
Azhar, setiap harinya Hamka menerima kunjungan dari orang-orang yang datang
berkonsultasi atau bahkan curhat. Siapapun yang datang kepadanya, bakal
diterima dengan tangan terbuka. Tak heran, dalam sehari puluhan orang bisa
datang menemuinya, sekedar ingin mendengar nasehat-nasehat ulama besar itu.
Ayah saya, Syuaib, sangat beruntung bisa bertemu langsung
dengan Hamka. Dia mengaku, hanya ingin melihat Hamka. Maka, datanglah beliau berkunjung
ke Masjid Al Azhar. Di sebuah ruangan yang biasa menjadi tempat bertemunya
Hamka dengan masyarakat yang datang berkunjung, hanya ada beberapa kursi dan sebuah
meja kayu. Setelah beberapa saat menunggu, Hamka keluar menemui ayah saya di
ruangan tersebut. Setelah mengucap salam, Hamka meminta maaf karena baru
menerima tamu. Tentu saja, kata maaf ini akan selalu terucap dari bibir Hamka,
karena beliau akan selalu menerima tamu.
‘’Beliau tidak mau disebut kyai, bahkan sekedar sebutan
bapak, saya diminta sebut langsung namanya, Hamka,’’ tutur ayah saya.
Itulah kesan pertamanya saat bertatap muka langsung
dengan Hamka. Selanjutnya Hamka dengan penuh persahabatan mengobrol akrab
dengan ayah saya yang baru dikenalnya. Ayah saya bukan siapa-sia, hanya seorang
guru SD biasa.
Tentu saja pertemuan itu tidak bisa lama, karena masih
banyak tamu Hamka yang masih mengantri menunggu giliran. Hamka tidak pernah
mengusir tamunya, namun sang tamu, seperti Ayah saya, yang tahu diri dengan
kesibukan beliau.
Saat akan pamit pulang, ayah saya sempat ditahan Hamka.
Ternyata beliau menawarkan sedikit uang untuk ongkos pulang. Ayah saya tahu,
Hamka mendapatkan uang itu dari kegiatannya mengurus yayasan pendidikan Al
Azhar. Tentu gajinya sangat sedikit, yang hanya cukup untuk makan Hamka dan
keluarganya. Dengan ikhlas, ayah saya menolaknya.
Hamka memang tidak pernah mau menerima uang dari orang
yang berkonsultasi dengannya atau uang dari kegiatan dakwahnya. Bahkan kerap
kali, Hamka justru memberikan uang sekedar ongkos, untuk orang yang datang
menemuinya.
Saat itu, Hamka merupakan penceramah rutin di TVRI maupun
RRI. Yang tentu saja, publikasi ini membuat Hamka menjadi sangat tenar di
masyarakat. Tapi menjadi ulama kondang, tidak membuat beliau tergiur menetapkan
tarif ceramah.
Selama hidupnya, Hamka dikenal sebagai sosok yang
konsisten dengan pendiriannya. Di masa pendudukan Jepang, ada tradisi
membungkukkan badan ke arah negara Jepang, atau di hadapan bendera Jepang.
Hamka, saat itu menolak membungkuk, karena dia hanya mau tunduk di hadapan
Allah SWT. Ancaman penjara, atau bahkan nyawa, tidak menyurutkan Hamka untuk
memegang teguh prinsipnya.
Konsistensinya memegang prinsip bukan tanpa resiko. Demi
menjaga prinsipnya beliau pernah dipenjara di era Orde Lama pada tahun
1964-1966 dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Hamka dipenjara,
karena berbeda pendapat dengan Sukarno terkait penetapan Pancasila sebagai
dasar negara.
Di era Orde Baru, Hamka juga kerap berselisih paham
dengan penguasa. Dia pernah menolak berkampanye untuk Golkar, padahal saat itu
penguasa sangat getol menjaring para tokoh untuk mendukung Golkar. Namun Hamka
tetap pada prinsipnya. ‘’Dengan loyalitas terhadap negara ini bukan berarti
bahwa saya mesti masuk salah satu partai politik. Bukanlah berarti saya mesti
membantu kampanye Golkar!...Saya akan tusuk 3 Juli nanti tanda gambar yang
tetap rahasia dalam hati saya." tulis Hamka.
Namun perbedaan prinsip ini, tidak membuat Hamka dendam. Saat
Sukarno meninggal dunia, Hamka menjadi imam sholat jenazah Sukarno.
Sukarno-pun, tidak menjadikan perbedaan pendapatnya dengan Hamka sebagai jurang
pemisah persahabatan mereka berdua. Sebelum wafat, Sukarno meminta agar Hamka
yang mengimami sholat jenazahnya, yang akhirnya dipenuhi Hamka.
Senantiasa menjaga persahabatan merupakan salah satu prinsip
yang dipegang teguh oleh Hamka. Banyak kisah-kisah yang membuktikan hal itu.
Misalnya saja kisah persahabatannya dengan KH Abdullah Syafi’ie ulama
kharismatik Betawi yang juga tokoh NU.
Sebagai tokoh Muhammadiyah, Hamka tidak mempraktekan doa
qunut pada sholat subuh, dan masalah khilafiyah lainnya seperti perbedaan
bilangan sholat tarawih atau jumlah azan pada solat jumat.
Sebagaimana diceritakan Rusydi Hamka dalam bukunya, Hamka
pernah suatu hari dijadwalkan menjadi khatib jumat di Masjid Al Azhar
Kebayoran. Saat itu kebetulan ada KH Abdullah Syafi’ie. Hamka kemudian meminta
sahabatnya untuk menjadi khatib. Tidak itu saja, di masjid tersebut, tiba-tiba
berkumandang azan dua kali, padahal selama ini setiap jelang sholat Jumat,
Masjid Al Azhar hanya mengumandangkan azan satu kali.
Sikap toleransi Hamka tidak kali itu saja ditunjukkan.
Ketika mengimami sholat subuh, Hamka kerap meminta persetujuan jamaah, apakah
nanti memakai doa qunut atau tidak. Beberapa kali Hamka mengimami sholat subuh
dengan membaca doa qunut. Demikian halnya ketika sholat tarawih, Hamka juga
meminta persetujuan jamaah, apakah dengan 11 atau 23 rakaat dengan witir.
Prinsip Hamka dalam menjaga persahabatan dan persaudaraan
juga ditunjukkan ketika terjadi perbedaan pendapat antara dirinya dengan tokoh
Muhammadiyah lainnya KH Farid Ma’ruf terkait pengangkatan Moelyadi Djoyomartono
sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Sukarno waktu itu. Pengangkatan tokoh
Muhammadiyah ini menjadi kontroversi, karena saat itu tengah terjadi konflik
antara Sukarno dan Muhammadiyah.
Hamka saat itu menilai KH Farid Ma’ruf sebagai tokoh
Muhammadiyah yang pro istana dan ingin membawa Muhammadiyah mendekat ke istana.
Sedangkan KH Farid Ma’ruf berpendapat, sikap Moelyadi menerima posisi Menteri
Sosial, adalah untuk kepentingan Muhammadiyah. Konflik iniun sampai melibatkan
media massa.
Hingga dalam sidang tanwir Muhammadiyah, kedua tokoh ini
akhirnya dipertemukan dalam satu mimbar. Hamka didaulat terlebih dahulu naik ke
atas mimbar untuk menjelaskan tuduhannya selama ini. Saat Hamka melangkah ke
atas mimbar, semua mata peserta tanwir tertuju padanya, menunggu saat-saat
menegangkan, debat terbuka yang bakal sangat seru.
Namun apa yang terjadi. Saat berada di atas mimbar, Hamka
justru menangis. Dengan suara terbata-bata, Hamka meminta maaf kepada KH Farid
Ma’ruf. Dia mengatakan, pendapatnya di media massa sebagai bentuk cintanya pada
Muhammadiyah, demikian halnya dengan KH Farid Ma’ruf, pendapat itu juga
dilandasi kecintaan yang besar terhadap Muhammadiyah.
KH Farid Ma’ruf yang saat itu membawa setumpuk map,
sebagai persiapan menghadapi ‘’serangan’’ Hamka, tidak jadi membuka mapnya. Dia
menghampiri Hamka, dan memeluknya sembari menangis. Keduanya memang tetap pada
pendapatnya masing-masing, tapi tetap saja tidak melunturkan persaudaraan
diantara tokoh ini.
Hamka juga seorang ulama yang ikhlas. Ketika banyak orang
menilai kerja dan jabatannya dengan sekepal rupiah, Hamka bekerja dalam dakwah
dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan.
Ketika menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia
selama dua periode, 1975-1980 dan periode 1980-1985, Hamka menolak untuk
digaji. "Kalau saya diminta menjadi anggota Majelis Ulama saya terima,
akan tetapi ketahuilah saya sebagai Ulama tidak dapat dibeli," tegas Hamka
sebagaimana dikutip M Roem dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah.
Hamka memang sudah lama meninggal dunia. Tapi banyak
pelajaran yang bisa diambil dari kehidupan tokoh tersebut. Dan tentu saja lebih
banyak pelajaran berharga dari pesan-pesan yang termuat dalam rekaman ceramah
dan buku-bukunya. Satu kutipan pesan Hamka dalam bukunya ‘’Dari Hati ke Hati’’:
“Menurut keyakinan kita, suatu kemajuan, pembangunan,
ketinggian dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat
Islam, tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasar kepada akidah dan akhlak
Islam! Orang Barat bisa saja berjuang mempertahankan tanah airnya, tampil ke
medan perang, bertempur melawan musuh sambil minum vodka dan whisky, sambil
menyanyi, dan berdansa dan sambil istirahat pergi ke tempat perempuan lacur
yang sudah disediakan untuk pelepaskan dahaga mereka.” (*)
0 komentar:
Posting Komentar